Mahasiswa Asing di Kyoto bercerita tentang Culture Shock yang dirasakan di Jepang
2018.03.13
Mari dengarkan pengalaman para senior saat mengalami Culture Shock, yang mungkin juga akan kalian alami di masa depan. Kami mengumpulkan mahasiswa asing di StudyKyoto dan meminta mereka berbicara tentang saat-saat mereka mengalami culture shock.
Yang ikut bergabung ada 6 orang, yaitu Katrina (asal Amerika), Mono (asal Indonesia), Mook (asal Thailand), Hyejin (asal Korea Selatan), Preng Fei (asal China), dan Ye Eun (asal Korea Selatan). Kami bertanya kepada mereka tentang pengalaman culture shock pribadinya saat belajar di luar negeri.
Kapan kamu merasakan culture shock di Jepang?
Transportasi
Katrina:Transportasi umumnya sangat berbeda, ya. Aku kaget saat tahu kalau banyak siswa di Jepang menghabiskan lebih dari dua jam untuk perjalanan ke sekolah setiap hari. (Mono juga mengangguk setuju dengan fakta ini.) Di Amerika Serikat, tidak mungkin menempuh perjalanan dua jam ke sekolah. Tapi di Jepang hal ini sudah biasa ya, bukan cuma siswa tetapi gurunya juga datang dari jauh. Kalau sekali jalan memakan waktu 2 jam, maka 4 jam sehari akan habis di angkutan umum. Rasanya aneh sekali menurutku.
Waktu aku tanya ke temanku, mereka bilang di kereta mereka bisa tidur, belajar, atau melakukan apapun yang mereka suka. Di Amerika Serikat, mengendarai mobil untuk pergi ke sekolah dari jarak jauh adalah hal yang lumrah, jadi tidak ada yang dapat dilakukan selama waktu tersebut. Di Jepang kita bisa menggunakan waktu yang dihabiskan di kereta untuk berbagai hal. Dua jam mungkin waktu yang lama, tapi setidaknya karena kita bisa melakukan sesuatu dengan itu, jadi kayanya itu bukan masalah besar.
Mono Di Indonesia kalau ada anak SMA yang ditanya waktu perjalanan ke sekolah dan menjawab satu jam, semua orang akan berpikir itu melelahkan. Beda dari negara lain, di Jepang banyak sekali anak sekolah yang pulang pergi naik kendaraan umum, ya.
Ye Eun:Saya kaget karena di Jepang banyak orang yang naik sepeda. Di Korea juga orang-orang naik sepeda, sih, tapi tidak begitu banyak yang sampai naik sepeda ke kampus.
Honne dan Tatemae
“Honne” dalam bahasa Jepang berarti pendapat atau perasaan jujur seseorang. “Tatemae” adalah kata-kata yang benar-benar diucapkan oleh seseorang, tetapi mungkin berbeda dengan “Honne“-nya !
Mook:Culture shock buat saya itu “Honne” dan “Tatemae” ya. Awalnya benar-benar susah. Misalnya saya suka karaoke, dan semua orang yang tahu itu bilang, “Kapan-kapan pergi karaoke bareng, yuk!” tapi karena dia gak bilang dengan jelas beneran mau pergi atau gak, makanya saya juga jadi bingung ini beneran diajak atau nggak, sih?
Katrina:Temanku sering bilang, “Aku bakal traktir ya!” hahaha tapi cuma ngomong, ya. Sering begitu.
Hyejin:Gak tahu sih apakah ini soal “Honne” dan “Tatemae” atau bukan, tapi banyak orang Jepang yang benar-benar mengerti perasaan dan reaksi orang-orang di sekitar mereka, ya. Kalau orang Korea mungkin agak lebih lugas. Misalnya, di Korea waktu aku lagi cari kerja, teman-temanku selalu bertanya, “Apa kamu sudah dapat tawaran pekerjaan? Atau sudah dihubungi perusahaan, belum?” Tapi di Jepang, teman-teman Jepangku gak pernah bertanya seperti itu. Kaget banget sih, ya. Kirain karena mereka gak peduli kali ya, tapi nyatanya karena mereka gak ingin membuatku merasa gak nyaman.
Di Korea Selatan, saat masa-masa ujian sekolah, yang terjadi justru sebaliknya. Semua orang itu setelah menyapa, langsung bertanya, “Berapa nilaimu?”
Tradisi Belajar
Mono:Perpustakaan gak buka 24 jam itu cukup jadi culture shock sih. Karena banyak tutupnya saya sampai berpikir, ini saya gak boleh belajar, kayanya.
Katrina:Tutup jam 9 atau jam 10 itu cepat banget sih.
Mono:Tutup juga di pekan-pekan sebelum ujian, kan ya.
Katrina:Siswa Jepang mungkin lebih suka belajar di rumah, tapi aku inginnya belajar di perpustakaan. Makanya, menurutku hebat banget siswa Jepang bisa belajar di rumah. Kayanya orang-orang di Amerika gak ingin belajar di rumah. Aku sendiri lebih bisa konsentrasi belajar ketika berada di perpustakaan.